Waktu itu kira-kira saya 20 Tahun, bersama kakek seorang inspirator ulung dari keluargaku. Bedanya , beliau memberi inspirasi dengan karya bukan dengan alunan kata. Bermula pada sekitar pukul 05.30 pagi, kami sepakat mencari dimana titik sapi ternak merumput bersama kawanannya. Dengan bekal seadanya, kami melangkah perlahan disertai dengan beberapa bungkus garam yang katanya untuk memancing sapi mendekat kalau sudah diketemukan. Inilah cara beliau untuk membangun hubungan emosional dengan hewan itu.
Perjalanan yang memempuh beberapa kilo ini tidak menyurutkan semangatku untuk bertemu langsung dengan hewan ternak yang mungkin sudah sebulan tidak pernah dikunjungi oleh kakeku dan saya tentu saja ini adalah pengalaman pertama. Maklum di daerah kami sudah tersedia kandang-kandang khusus dengan luas puluhan KM persegi yang tempatnya lumayan jauhlah dari kediamanku.
Sesampainya di sebuah pondok pinggiran bukit areal kandang, tempat peristirahatan kala peternak hendak mengunjungi sapi milik mereka, dengan disuguhkan pemandangan menarik pagi hari disekitar bukit. Tetesan embung dihelaian daun alang-alang tak menyurutkan niat dan tekad kami mengarungi lembaran demi lembaran tajamnya daun alang-alang. Seteguk air sangat berarti untuk melepas dahaga, setelah perjalanan yang cukup jauh dari rumah ke pondok ini.
Tapi perjalanan tidak sampai di situ, di depan masih banyak bukit dengan tinggi menjulang yang harus kami daki, rimbunan pohon bambu dimana hidup berbagai organisme kecil yang bisa mengganggu fokus dan kenyamanan kami, terik matahari yang mengancam ketersediaan air minum kami, dan hambatan-hambatan kecil yang mungkin kami temui.
Setelah berjam-jam berkutat dengan bebatuan tajam ditambah dengan teriknya matahari, belum lagi rimbunan pohon bambu kami telusuri, sambil duduk sejenak berlindung pepohonan rindang nan sejuk terdengar suara gemerincing. Sang kakek berkata, "Coba dengar baik-baik, suara itu adalah kawanan sapi yang diberi tanda semacam lonceng di leher sebagai pertanda agar mereka dapat dengan mudah kita temui, tapi di situ tidak ada milik kita". Kata hebat sempat terlintas di benakku, tapi selanjutnya perjalanan kembali berlanjut. Dan berawal di bawah rimbunan pohon bambu, dengan melihat ke atas bukit saya melihat seekor dan kemudian seekor lagi, dan akhirnya kami mendekat, kakekku bilang, " Ya itu, yang kita cari, sekawanan yang merepotkan kami akhirnya ketemu juga setelah berpuluh-puluh kilo kami melangkah, tak terhitung menit yang kami lalui.
Lega rasanya melihat mereka menjulurkan lidah menjilati butiran garam ditelapak tangan kakekku. Ingin ku coba juga tapi tak satupun dari hewan itu yang mau menghampiriku, ya sudahlah saya cukup mengamati dari jauh. Nikmat rasanya meskipun pannas mencekam tapi cukup untuk melepas penat ditengah hiruk-pikuk tugas-tugas kampus.
Perjalanan yang memempuh beberapa kilo ini tidak menyurutkan semangatku untuk bertemu langsung dengan hewan ternak yang mungkin sudah sebulan tidak pernah dikunjungi oleh kakeku dan saya tentu saja ini adalah pengalaman pertama. Maklum di daerah kami sudah tersedia kandang-kandang khusus dengan luas puluhan KM persegi yang tempatnya lumayan jauhlah dari kediamanku.
Sesampainya di sebuah pondok pinggiran bukit areal kandang, tempat peristirahatan kala peternak hendak mengunjungi sapi milik mereka, dengan disuguhkan pemandangan menarik pagi hari disekitar bukit. Tetesan embung dihelaian daun alang-alang tak menyurutkan niat dan tekad kami mengarungi lembaran demi lembaran tajamnya daun alang-alang. Seteguk air sangat berarti untuk melepas dahaga, setelah perjalanan yang cukup jauh dari rumah ke pondok ini.
Tapi perjalanan tidak sampai di situ, di depan masih banyak bukit dengan tinggi menjulang yang harus kami daki, rimbunan pohon bambu dimana hidup berbagai organisme kecil yang bisa mengganggu fokus dan kenyamanan kami, terik matahari yang mengancam ketersediaan air minum kami, dan hambatan-hambatan kecil yang mungkin kami temui.
Setelah berjam-jam berkutat dengan bebatuan tajam ditambah dengan teriknya matahari, belum lagi rimbunan pohon bambu kami telusuri, sambil duduk sejenak berlindung pepohonan rindang nan sejuk terdengar suara gemerincing. Sang kakek berkata, "Coba dengar baik-baik, suara itu adalah kawanan sapi yang diberi tanda semacam lonceng di leher sebagai pertanda agar mereka dapat dengan mudah kita temui, tapi di situ tidak ada milik kita". Kata hebat sempat terlintas di benakku, tapi selanjutnya perjalanan kembali berlanjut. Dan berawal di bawah rimbunan pohon bambu, dengan melihat ke atas bukit saya melihat seekor dan kemudian seekor lagi, dan akhirnya kami mendekat, kakekku bilang, " Ya itu, yang kita cari, sekawanan yang merepotkan kami akhirnya ketemu juga setelah berpuluh-puluh kilo kami melangkah, tak terhitung menit yang kami lalui.
Lega rasanya melihat mereka menjulurkan lidah menjilati butiran garam ditelapak tangan kakekku. Ingin ku coba juga tapi tak satupun dari hewan itu yang mau menghampiriku, ya sudahlah saya cukup mengamati dari jauh. Nikmat rasanya meskipun pannas mencekam tapi cukup untuk melepas penat ditengah hiruk-pikuk tugas-tugas kampus.