Hari itu begitu terik, bersama sepepu bapakku (Mamu') begitu Ia disapa. Kami menyusuri padang tanpa bekal apa-apa kecuali selonsong peluru dan senapan angin dipundak sesekali menyimak kicauan burung ala-ala pemburu profesional.
Dalam perjalanan kami, begitu ada pohon tinggi menjulang (Maklum di padang yang hanya bisa ditumbuhi alang-alang) sesekali kami singgah untuk sekedar mengintip dari bawah barangkali ada spesies yang kami buru tapi nyatanya hanyalah spesies-spesies yang jauh lebih kecil dan yang pasti akan menghabiskan persediaan amunisi kami.
Posisi kami sekarang jauh untuk pulang dan sekarang waktu kurang lebih 10 waktu setempat, ditambah akhir pekan yang kosong membuat kami berpikir dan melanjutkan perjalanan di pondok perkebunan coklat milik sepupuku. Pondoknya berada di tengah-tengah perkebunan coklat miliknya dan tentunya banyak pohon yang bisa dimanfaatkan oleh burung buruan kami untuk singgah beristirahat. Itulah pertimbangan kami untuk mampir kesana dan di luar dugaan sesampainya di sana ada beberapa keluarga yang juga berkunjung untuk sekedar menikmati hasil kebun dan untuk dibawah pulang. Dan kebetulan sekarang waktunya jagung muda, beberapa sudah dipetik dari lahan belakan pondok cocok untuk melepas lelah kami.
Sejenak saya duduk di lahan kering yang banyak tumpukan batu besar, menyaksikan daerah sekitar. Dalam hati berkata, ternyata disini sudah banyak perubahan. Seingat saya, baru sekali berkunjung kesini tepatnya waktu SD dan sekarang sudah hampir setahun lulus SMA.
Istrahat cukup, berselang 4 jam setelah kami sampai di pondok, terdengar kicauan burung tapi itu bukan buruan kami namun lumayan besarlah kurang lebih sebesar induk ayam. Suaranya berasal dari pohon besar di kebun sebelah, dengan gegas saya ke sana. Kali ini tanpa ditemani Mamu'. Menyusuri jalan setapak, saya berlari. Namun letak pohon itu berada di tengah-tengah lebatnya semak belukar. Hambatan itu tidak menyurutkan niat saya sampai akhirnya saya berdiri tepat di bawah pohon itu. Dengan kagum saya membidik seekor diantara puluhan burung warna abu-abu dengan terpong senapan dan "Dorrrr" serentak mereka terbang mendegar suara yang keluar dari moncong senapan saya. Alhasil, di atas saya tak seekor pun yang tersisa begitupun yang saya bidik tadi. Tapi tak berapa lama berselang mereka kembali berdatangan dan ternyata setelah saya amati, pohon itu adalah pohon yang menghasilkan buah kesukaan mereka.
Bidik membidik berlangsung hingga petang, saya pulang ke pondok tanpa hasil. Di pondok kami berbincang mengenai pengalaman saya tadi, Sepupuku berkata " Seharusnya kamu tembak bagian kepala, dadanya". Pernyataan itu saya benarkan, maklumlah pemburu amatir yang taunya asal dorr tapi sebenarnya bidikan saya bukannya tanpa mengenai sasaran tapi bagian-bagian tertembak itu kalau tidak sayap, punggung, yang pastinya tidak pernah kepala atau dada. Saya lanjutkan penjelasan saya dengan menunjukkan beberapa helai bulu yang jatuh setelah saya tembak. Saran dilontarkan oleh Sepupuku, "Kalau rangkong yang kalian cari itu sebenarnya sudah sangat jarang didapat kecuali kalian pagi-pagi sekali sudah menunggu di bawah pohon beringin yang sedang berbuah. Saya yakin akan dapat 1 atau 2 ekor yang bermalam di sana".
Mengikuti saran sepupuku, kurang lebih pukul 5 waktu setempat saya berdiri tepat di bawah pohon beringin. Kali ini saya masih sendiri sementara mereka yang di pondok menunggu saya untuk selanjutnya pulang di perkampungan. Beberapa menit mengamati, suara itu terdengar. Sebenarnya agak familiar di telingahku dan ternyata itu adalah spesies besar yang saya cari. Yah "Rangkong" akhirnya burung maskot provinsi Sulawesi Selatan ini bisa saya lihat dengan jarak dekat tanpa terbang. Untuk kali pertama hewan yang termasuk dilindungi ini saya dapati bertengger di atas pohon. Saya berusaha membidik, tiba-tiba rasa iba muncul, dalam hati saya berkata, "Kalau saya tembak dan mengenai dia, mungkin saja dia tidak akan jatuh dan luka tembak saya akan membuat dia terluka dan perlahan akan mati tapi dalam jangka waktu yang lama, mungkin sekitar 10 hari atau bahkan sebulan". Niat saya surut ke Rangkong itu, saya beralih ke spesies yang lain dan hasilnya sama seperti kemarin. Saya cuma bisa mengenainya tanpa bisa membuatnya terjatuh ke tanah. Sebenarnya ada satu bidikan yang membuat saya sangat yakin kalau spesies itu jatuh tak berdaya ke tanah tapi di tengah rimbunan pepohonan saya tidak bisa menemukan jasad burung itu.
Jadi ya sudahlah, saya kembali ke pondok setelah kurang lebih sejam di belantara. Saya kemasi barang-barang dan beberapa jagung muda dalam sebuah bungkusan yang sudah disiapkan sepupuku menyertai perjalan pulang. Itung-itung sebagai oleh-oleh orang di rumah.
Dalam perjalanan kami, begitu ada pohon tinggi menjulang (Maklum di padang yang hanya bisa ditumbuhi alang-alang) sesekali kami singgah untuk sekedar mengintip dari bawah barangkali ada spesies yang kami buru tapi nyatanya hanyalah spesies-spesies yang jauh lebih kecil dan yang pasti akan menghabiskan persediaan amunisi kami.
Posisi kami sekarang jauh untuk pulang dan sekarang waktu kurang lebih 10 waktu setempat, ditambah akhir pekan yang kosong membuat kami berpikir dan melanjutkan perjalanan di pondok perkebunan coklat milik sepupuku. Pondoknya berada di tengah-tengah perkebunan coklat miliknya dan tentunya banyak pohon yang bisa dimanfaatkan oleh burung buruan kami untuk singgah beristirahat. Itulah pertimbangan kami untuk mampir kesana dan di luar dugaan sesampainya di sana ada beberapa keluarga yang juga berkunjung untuk sekedar menikmati hasil kebun dan untuk dibawah pulang. Dan kebetulan sekarang waktunya jagung muda, beberapa sudah dipetik dari lahan belakan pondok cocok untuk melepas lelah kami.
Sejenak saya duduk di lahan kering yang banyak tumpukan batu besar, menyaksikan daerah sekitar. Dalam hati berkata, ternyata disini sudah banyak perubahan. Seingat saya, baru sekali berkunjung kesini tepatnya waktu SD dan sekarang sudah hampir setahun lulus SMA.
Istrahat cukup, berselang 4 jam setelah kami sampai di pondok, terdengar kicauan burung tapi itu bukan buruan kami namun lumayan besarlah kurang lebih sebesar induk ayam. Suaranya berasal dari pohon besar di kebun sebelah, dengan gegas saya ke sana. Kali ini tanpa ditemani Mamu'. Menyusuri jalan setapak, saya berlari. Namun letak pohon itu berada di tengah-tengah lebatnya semak belukar. Hambatan itu tidak menyurutkan niat saya sampai akhirnya saya berdiri tepat di bawah pohon itu. Dengan kagum saya membidik seekor diantara puluhan burung warna abu-abu dengan terpong senapan dan "Dorrrr" serentak mereka terbang mendegar suara yang keluar dari moncong senapan saya. Alhasil, di atas saya tak seekor pun yang tersisa begitupun yang saya bidik tadi. Tapi tak berapa lama berselang mereka kembali berdatangan dan ternyata setelah saya amati, pohon itu adalah pohon yang menghasilkan buah kesukaan mereka.
Bidik membidik berlangsung hingga petang, saya pulang ke pondok tanpa hasil. Di pondok kami berbincang mengenai pengalaman saya tadi, Sepupuku berkata " Seharusnya kamu tembak bagian kepala, dadanya". Pernyataan itu saya benarkan, maklumlah pemburu amatir yang taunya asal dorr tapi sebenarnya bidikan saya bukannya tanpa mengenai sasaran tapi bagian-bagian tertembak itu kalau tidak sayap, punggung, yang pastinya tidak pernah kepala atau dada. Saya lanjutkan penjelasan saya dengan menunjukkan beberapa helai bulu yang jatuh setelah saya tembak. Saran dilontarkan oleh Sepupuku, "Kalau rangkong yang kalian cari itu sebenarnya sudah sangat jarang didapat kecuali kalian pagi-pagi sekali sudah menunggu di bawah pohon beringin yang sedang berbuah. Saya yakin akan dapat 1 atau 2 ekor yang bermalam di sana".
Mengikuti saran sepupuku, kurang lebih pukul 5 waktu setempat saya berdiri tepat di bawah pohon beringin. Kali ini saya masih sendiri sementara mereka yang di pondok menunggu saya untuk selanjutnya pulang di perkampungan. Beberapa menit mengamati, suara itu terdengar. Sebenarnya agak familiar di telingahku dan ternyata itu adalah spesies besar yang saya cari. Yah "Rangkong" akhirnya burung maskot provinsi Sulawesi Selatan ini bisa saya lihat dengan jarak dekat tanpa terbang. Untuk kali pertama hewan yang termasuk dilindungi ini saya dapati bertengger di atas pohon. Saya berusaha membidik, tiba-tiba rasa iba muncul, dalam hati saya berkata, "Kalau saya tembak dan mengenai dia, mungkin saja dia tidak akan jatuh dan luka tembak saya akan membuat dia terluka dan perlahan akan mati tapi dalam jangka waktu yang lama, mungkin sekitar 10 hari atau bahkan sebulan". Niat saya surut ke Rangkong itu, saya beralih ke spesies yang lain dan hasilnya sama seperti kemarin. Saya cuma bisa mengenainya tanpa bisa membuatnya terjatuh ke tanah. Sebenarnya ada satu bidikan yang membuat saya sangat yakin kalau spesies itu jatuh tak berdaya ke tanah tapi di tengah rimbunan pepohonan saya tidak bisa menemukan jasad burung itu.
Jadi ya sudahlah, saya kembali ke pondok setelah kurang lebih sejam di belantara. Saya kemasi barang-barang dan beberapa jagung muda dalam sebuah bungkusan yang sudah disiapkan sepupuku menyertai perjalan pulang. Itung-itung sebagai oleh-oleh orang di rumah.