Waktu itu saya masih duduk di bangku kelas 5 SD, berawal dari ikut-ikutan akhirnya jadi hobi. Kegiatan yang sering saya lakukan di waktu padi mulai menunjukkan butiran-butiran hijau diatas kelopak daun. Sebenarnya ini adalah rutinitas tahunan saya kalau masa tanam padi di sawah milik kakek. Bukan hanya saya, hampir seluruh anak laki-laki di desaku menjalankan tradisi ini. Tradisi yang terbilang unik dan tak bisa terlupakan meskipun saya sudah beranjak besar, tradisi yang kental dengan pengalaman dan pengetahuan.
Jauh hari sebelum waktu itu tiba, saya diberikan sepasang burung pipit oleh seorang pemuda yang piawai menangkap spesies mungil ini di desaku. Saya senang sekali atas pemberian itu bahkan membangga-banggakan dihadapan teman-teman dan keluarga, maklum waktu itu saya masih seumur jagung. Motivasi akhirnya muncul ketika melihat lahapnya mereka menghabiskan satu persatu butiran padi yang masih hijau yang aku berikan. Saat itu pula terbesik dalam hati niat untuk bisa menangkap sendiri satu, dua, atau bahkan puluhan ekor burung pipit itu dikemudian hari saat aku mulai sanggup merangkak ditengah rimbunan daun padi.
Beberapa tahun berlalu dan waktu yang saya tunggu pun tiba, saya diberi jebakan beserta seekor pipit sebagai umpan kepada kawanan yang ada di luar agar bisa terpancing dan termakan oleh jebakan. Saat mencoba, rasa senang bercampur bangga ketika momen pertama kali saya mampu menangkap spesies mungil itu. Hingga hari-hari berikutnya, saya mulai mahir memasang jebakan tersebut. Setiap pulang sekolah saya selalu dipercayakan oleh kakek menjaga padi miliknya dan dengan sigap saya menuju TKP dengan iming-iming main sepuasnya dengan jebakan pipit yang saya miliki.
Namun, alih-alih menjaga padi milik kakek, saya justru mangkir ke sebuah tempat dimana tempat itu merupakan surga bagi kami kala itu karena burung pipit berkumpul ratusan bahkan ribuan dan memenuhi tempat itu, bisa dibilang tempat tersebut merupakan tempat spesies-spesies tersebut beristrahat. Di tempat itu, kami punya Base Camp khusus tempat kami berkumpul para petani junior yang lari dari tanggung jawab.
Setiap hari rutinitas kami berlanjut, diantara semua waktu, yang paling berkesan adalah hari liburkarena kami bisa melewatkan banyak waktu untuk main ditempat itu. Di tempat itu pula saya mulai belajar merakit jebakan sendiri, membuat sangkar sederhana, dan hal-hal aneh lain. Di tempat itu kami selalu ada canda dan tawa, saling usil adalah kegiatan yang memenuhi tempat itu. Meskipun jalan sesat itu kami lalui sebagi bocah yang masih labil yang belum tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Yang penting kami senang itulah yang kami lakukan. Meskipun sepulangnya kami harus dapat ocehan karena mangkir dari tugas, tapi kami tetap melakukannya. Yah mau diapa lagi, masa itu adalah masa berharga dan sangat mahal untuk saat ini.
Sebuah pengalaman yang saya sering jadikan inspirasi sampai saat ini. Inspirasi masa kecil yang kadang menjadi insting yang menjadikan saya lebih dewasa menyikapi persoalan yang mungkin saja kami telah lalui pada masa-masa itu. Sekarang saya cuma bisa geleng-geleng kepala sambil senyum kalau kembali ke desa dan melihat anak-anak seusiaku dulu melakukan hal serupa, menjerat burung pipit.
Jauh hari sebelum waktu itu tiba, saya diberikan sepasang burung pipit oleh seorang pemuda yang piawai menangkap spesies mungil ini di desaku. Saya senang sekali atas pemberian itu bahkan membangga-banggakan dihadapan teman-teman dan keluarga, maklum waktu itu saya masih seumur jagung. Motivasi akhirnya muncul ketika melihat lahapnya mereka menghabiskan satu persatu butiran padi yang masih hijau yang aku berikan. Saat itu pula terbesik dalam hati niat untuk bisa menangkap sendiri satu, dua, atau bahkan puluhan ekor burung pipit itu dikemudian hari saat aku mulai sanggup merangkak ditengah rimbunan daun padi.
Beberapa tahun berlalu dan waktu yang saya tunggu pun tiba, saya diberi jebakan beserta seekor pipit sebagai umpan kepada kawanan yang ada di luar agar bisa terpancing dan termakan oleh jebakan. Saat mencoba, rasa senang bercampur bangga ketika momen pertama kali saya mampu menangkap spesies mungil itu. Hingga hari-hari berikutnya, saya mulai mahir memasang jebakan tersebut. Setiap pulang sekolah saya selalu dipercayakan oleh kakek menjaga padi miliknya dan dengan sigap saya menuju TKP dengan iming-iming main sepuasnya dengan jebakan pipit yang saya miliki.
Namun, alih-alih menjaga padi milik kakek, saya justru mangkir ke sebuah tempat dimana tempat itu merupakan surga bagi kami kala itu karena burung pipit berkumpul ratusan bahkan ribuan dan memenuhi tempat itu, bisa dibilang tempat tersebut merupakan tempat spesies-spesies tersebut beristrahat. Di tempat itu, kami punya Base Camp khusus tempat kami berkumpul para petani junior yang lari dari tanggung jawab.
Setiap hari rutinitas kami berlanjut, diantara semua waktu, yang paling berkesan adalah hari liburkarena kami bisa melewatkan banyak waktu untuk main ditempat itu. Di tempat itu pula saya mulai belajar merakit jebakan sendiri, membuat sangkar sederhana, dan hal-hal aneh lain. Di tempat itu kami selalu ada canda dan tawa, saling usil adalah kegiatan yang memenuhi tempat itu. Meskipun jalan sesat itu kami lalui sebagi bocah yang masih labil yang belum tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Yang penting kami senang itulah yang kami lakukan. Meskipun sepulangnya kami harus dapat ocehan karena mangkir dari tugas, tapi kami tetap melakukannya. Yah mau diapa lagi, masa itu adalah masa berharga dan sangat mahal untuk saat ini.
Sebuah pengalaman yang saya sering jadikan inspirasi sampai saat ini. Inspirasi masa kecil yang kadang menjadi insting yang menjadikan saya lebih dewasa menyikapi persoalan yang mungkin saja kami telah lalui pada masa-masa itu. Sekarang saya cuma bisa geleng-geleng kepala sambil senyum kalau kembali ke desa dan melihat anak-anak seusiaku dulu melakukan hal serupa, menjerat burung pipit.