Selasa, 24 September 2013

Sepenggal pengalaman "Berburu Rangkong"

Hari itu begitu terik, bersama sepepu bapakku (Mamu') begitu Ia disapa. Kami menyusuri padang tanpa bekal apa-apa kecuali selonsong peluru dan senapan angin dipundak sesekali menyimak kicauan burung ala-ala pemburu profesional.

Dalam perjalanan kami, begitu ada pohon tinggi menjulang (Maklum di padang yang hanya bisa ditumbuhi alang-alang) sesekali kami singgah untuk sekedar mengintip dari bawah barangkali ada spesies yang kami buru tapi nyatanya hanyalah spesies-spesies yang jauh lebih kecil dan yang pasti akan menghabiskan persediaan amunisi kami.

Posisi kami sekarang jauh untuk pulang dan sekarang waktu kurang lebih 10 waktu setempat, ditambah akhir pekan yang kosong membuat kami berpikir dan melanjutkan perjalanan di pondok perkebunan coklat milik sepupuku. Pondoknya berada di tengah-tengah perkebunan coklat miliknya dan tentunya banyak pohon yang bisa dimanfaatkan oleh burung buruan kami untuk singgah beristirahat. Itulah pertimbangan kami untuk mampir kesana dan di luar dugaan sesampainya di sana ada beberapa keluarga yang juga berkunjung untuk sekedar menikmati hasil kebun dan untuk dibawah pulang. Dan kebetulan sekarang waktunya jagung muda, beberapa sudah dipetik dari lahan belakan pondok cocok untuk melepas lelah kami.

Sejenak saya duduk di lahan kering yang banyak tumpukan batu besar, menyaksikan daerah sekitar. Dalam hati berkata, ternyata disini sudah banyak perubahan. Seingat saya, baru sekali berkunjung kesini tepatnya waktu SD dan sekarang sudah hampir setahun lulus SMA.

Istrahat cukup, berselang 4 jam setelah kami sampai di pondok, terdengar kicauan burung tapi itu bukan buruan kami namun lumayan besarlah kurang lebih sebesar induk ayam. Suaranya berasal dari pohon besar di kebun sebelah, dengan gegas saya ke sana. Kali ini tanpa ditemani Mamu'. Menyusuri jalan setapak, saya berlari. Namun letak pohon itu berada di tengah-tengah lebatnya semak belukar. Hambatan itu tidak menyurutkan niat saya sampai akhirnya saya berdiri tepat di bawah pohon itu. Dengan kagum saya membidik seekor diantara puluhan burung warna abu-abu dengan terpong senapan dan "Dorrrr" serentak mereka terbang mendegar suara yang keluar dari moncong senapan saya. Alhasil, di atas saya tak seekor pun yang tersisa begitupun yang saya bidik tadi. Tapi tak berapa lama berselang mereka kembali berdatangan dan ternyata setelah saya amati,  pohon itu adalah pohon yang menghasilkan buah kesukaan mereka.

Bidik membidik berlangsung hingga petang, saya pulang ke pondok tanpa hasil. Di pondok kami berbincang mengenai pengalaman saya tadi, Sepupuku berkata " Seharusnya kamu tembak bagian kepala, dadanya". Pernyataan itu saya benarkan, maklumlah pemburu amatir yang taunya asal dorr tapi sebenarnya bidikan saya bukannya tanpa mengenai sasaran tapi bagian-bagian tertembak itu kalau tidak sayap, punggung, yang pastinya tidak pernah kepala atau dada. Saya lanjutkan penjelasan saya dengan menunjukkan beberapa helai bulu yang jatuh setelah saya tembak. Saran dilontarkan oleh Sepupuku, "Kalau rangkong yang kalian cari itu sebenarnya sudah sangat jarang didapat kecuali kalian pagi-pagi sekali sudah menunggu di bawah pohon beringin yang sedang berbuah. Saya yakin akan dapat 1 atau 2 ekor yang bermalam di sana".

Mengikuti saran sepupuku, kurang lebih pukul 5 waktu setempat saya berdiri tepat di bawah pohon beringin. Kali ini saya masih sendiri sementara mereka yang di pondok  menunggu saya untuk selanjutnya pulang di perkampungan. Beberapa menit mengamati, suara itu terdengar. Sebenarnya agak familiar di telingahku dan ternyata itu adalah spesies besar yang saya cari. Yah "Rangkong" akhirnya burung maskot provinsi Sulawesi Selatan ini bisa saya lihat dengan jarak dekat tanpa terbang. Untuk kali pertama hewan yang termasuk dilindungi ini saya dapati bertengger di atas pohon. Saya berusaha membidik, tiba-tiba rasa iba muncul, dalam hati saya berkata, "Kalau saya tembak dan mengenai dia, mungkin saja dia tidak akan jatuh dan luka tembak saya akan membuat dia terluka dan perlahan akan mati tapi dalam jangka waktu yang lama, mungkin sekitar 10 hari atau bahkan sebulan". Niat saya surut ke Rangkong itu, saya beralih ke spesies yang lain dan hasilnya sama seperti kemarin. Saya cuma bisa mengenainya tanpa bisa membuatnya terjatuh ke tanah. Sebenarnya ada satu bidikan yang membuat saya sangat yakin kalau spesies itu jatuh tak berdaya ke tanah tapi di tengah rimbunan pepohonan saya tidak bisa menemukan jasad burung itu.


Jadi ya sudahlah, saya kembali ke pondok setelah kurang lebih sejam di belantara. Saya kemasi barang-barang dan beberapa jagung muda dalam sebuah bungkusan yang sudah disiapkan sepupuku menyertai perjalan pulang. Itung-itung sebagai oleh-oleh orang di rumah.

Minggu, 15 September 2013

Sepenggal Pengalaman "Mencari titk sapi"

Waktu itu kira-kira saya 20 Tahun, bersama kakek seorang inspirator ulung dari keluargaku. Bedanya , beliau memberi inspirasi dengan karya bukan dengan alunan kata. Bermula pada sekitar pukul 05.30 pagi, kami sepakat mencari dimana titik sapi ternak merumput bersama kawanannya. Dengan bekal seadanya, kami melangkah perlahan disertai dengan beberapa bungkus garam yang katanya untuk memancing sapi mendekat kalau sudah diketemukan. Inilah cara beliau untuk membangun hubungan emosional dengan hewan itu.

Perjalanan yang memempuh beberapa kilo ini tidak menyurutkan semangatku untuk bertemu langsung dengan hewan ternak yang mungkin sudah sebulan tidak pernah dikunjungi oleh kakeku dan saya tentu saja ini adalah pengalaman pertama. Maklum di daerah kami sudah tersedia kandang-kandang khusus dengan luas puluhan KM persegi yang tempatnya lumayan jauhlah dari kediamanku.

Sesampainya di sebuah pondok pinggiran bukit areal kandang, tempat peristirahatan kala peternak hendak mengunjungi sapi milik mereka, dengan disuguhkan pemandangan menarik pagi hari disekitar bukit. Tetesan embung dihelaian daun alang-alang tak menyurutkan niat dan tekad kami mengarungi lembaran demi lembaran tajamnya daun alang-alang. Seteguk air sangat berarti untuk melepas dahaga, setelah perjalanan yang cukup jauh dari rumah ke pondok ini.

Tapi perjalanan tidak sampai di situ, di depan masih banyak bukit dengan tinggi menjulang yang harus kami daki, rimbunan pohon bambu dimana hidup berbagai organisme kecil yang bisa mengganggu fokus dan kenyamanan kami, terik matahari yang mengancam ketersediaan air minum kami, dan hambatan-hambatan kecil yang mungkin kami temui.

Setelah berjam-jam berkutat dengan bebatuan tajam ditambah dengan teriknya matahari, belum lagi rimbunan pohon bambu kami telusuri, sambil duduk sejenak berlindung pepohonan rindang nan sejuk terdengar suara gemerincing. Sang kakek berkata, "Coba dengar baik-baik, suara itu adalah kawanan sapi yang diberi tanda semacam lonceng di leher sebagai pertanda agar mereka dapat dengan mudah kita temui, tapi di situ tidak ada milik kita". Kata hebat sempat terlintas di benakku, tapi selanjutnya perjalanan kembali berlanjut. Dan berawal di bawah rimbunan pohon bambu, dengan melihat ke atas bukit saya melihat seekor dan kemudian seekor lagi, dan akhirnya kami mendekat, kakekku bilang, " Ya itu, yang kita cari, sekawanan yang merepotkan kami akhirnya ketemu juga setelah berpuluh-puluh kilo kami melangkah, tak terhitung menit yang kami lalui.

Lega rasanya melihat mereka menjulurkan lidah menjilati butiran garam ditelapak tangan kakekku. Ingin ku coba juga tapi tak satupun dari hewan itu yang mau menghampiriku, ya sudahlah saya cukup mengamati dari jauh. Nikmat rasanya meskipun pannas mencekam tapi cukup untuk melepas penat ditengah hiruk-pikuk tugas-tugas kampus.